sarkub
Bismillahir Rahmaanir Rahiim
Tujuan pokok perjuangan Wahidiyah adalah mengajak ummat masyarakat untuk segera kembali sadar dan mengabdikan diri kepada Alloh Subhanahu Wata’ala dengan mengikuti dan menyadari kepada Junjungan kita Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam syar’an wahaqiqotan, zhohiron wabathinan. Hal ini sesuai dengan yang senantiasa dikumandangkan suatu panggilan “FAFIRRUU ILALLOOH” (Larilah kembali kepada Alloh).

Ajakan tersebut tidak hanya dengan bentuk ajakan yang bersifat informatif seperti hanya penyampaian amalan, ajaran atau bimbingan saja, akan tetapi juga dengan bentuk pembimbingan praktis. Misalnya tekanan-tekanan tentang penerepan ikhlash LILLAH, iman / tauhid BILLAH, ittiba’ kepada Rosululloh Shollalloohu ‘alaihi wasallam (LIRROSUL), dan kepercayaan serta rasa penerimaan jasa dari Beliau Shollalloohu ‘alaihi wasallam (BIRROSUL) sangat diperhatikan. Tekanan terhadap penerapan tauhid BILLAH di sini tidak berarti memberi kelonggaran dalam pelaksanaan syari’at atau amaliah lahiriah. Karena penerapan LILLAH, LIRROSUL dan seterusnya adalah pelaksanaan syari’at. Sangat tidak dibenarkan dalam Ajaran Wahidiyah seseorang yang beranggapan bahwa jika sudah menerapkan BILLAH (haqiqat) diperbolehkan meninggalkan syari’at.

Ajaran Wahidiyah bukan merupakan ajaran atau aliran baru yang menyimpang dari ajaran Islam; melainkan berupa bimbingan praktis yang dirumuskan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam melaksanakan tuntunan Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam. Meliputi bidang Iman, bidang Islam dan bidang Ihsan. Mencakup segi syari’ah, segi haqiqah dan segi akhlaq.

Sebelum kita membahas satu persatu pengertian dan bagaimana penerapan AJARAN WAHIDIYAH, marilah kita renungkan dan kita fikirkan lebih dahulu tentang fungsi manusia dihidupkan oleh ALLOH Subhanahu Wata’ala di dunia ini.
Kita perhatikan firman ALLOH Subhanahu Wata’ala : Artinya kurang lebih : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : “Sesungguhnya AKU hendak menjadikan kholifah di muka bumi” (2- Al Baqoroh : 30)
Yang dimaksud “Kholifah” adalah Nabi Adam ‘Alaihissalam yang menurunkan seluruh ummat manusia. Jadi setiap manusia, sebagai keturunan Nabi Adam ‘Alaihissalam dengan sendirinya sebagai ahli warisnya dan sekaligus menjadi Kholifah ALLOH di muka bumi. Secara Adami berarti setiap manusia mempunyai tugas kewajiban dan tanggung jawab menjalankan kekholifahan. Sebagai Kholifah ALLOH di bumi ummat manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini agar menjadi kehidupan yang baik dan benar yang diridloi ALLOH Subhanahu Wata’ala
Di dalam menjalankan fungsinya sebagai Kholifah ALLOH di muka bumi, manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti haluan garis besar dan tujuan pokok yang harus dituju. Antara lain seperti yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 : Artinya kurang lebih : “Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melain-kan agar supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (51-Adz Dzaariyat : 56)

Jadi segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, situasi dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk pengabdian diri (beribadah) kepada ALLOH Subhanahu Wata’ala semata-mata karena ALLOH (LILLAH) sebagai pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”.
Shahabat Ibnu Abbas Radliyallohu ‘anhuma seorang mufassir Al Qur’an yang terkenal sejak zaman Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam, menafsirkan kalimat “Liya’buduuni” dalam ayat tersebut dengan “Liya’rifuuni”. Artinya agar supaya jin dan manusia ma’rifat, mengenal atau sadar kepada-KU (ALLOH). Menurut Syekh Al-Kalabi disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, “Liya’buduni” ditafsiri “Liyuwahhiduuni”. Artinya agar men-tauhid-kan (memahaesakan)_AKU. Dua penafsiran tersebut ada keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala harus mengenal-NYA lebih dulu. Mana mungkin seseorang men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala sebelum mengenal-NYA. Jadi segala hidup dan kehidupan manusia (dan jin) menurut tafsir ini harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai sarana untuk ma’rifat atau mengenal ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang Maha Pencipta sampai bisa menyadari, meyakini dan mengi’tikadkan dalam hati bahwa segala sesuatu yang tercipta adalah ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang Maha Pencipta-lah yang menciptakannya, sehingga dalam hati mengakui dan merasa bahwa pada hikikatnya tiada daya dan kekuatan melainkan dari ALLOH Subhanahu Wata’ala. Dalam istilah lain senantiasa men-tauhidkan (memahaesakan) kepada ALLOH atau menerapkan BILLAH;

Begitu pula ummat manusia tidak mungkin bisa melaksanakan pengabdian diri kepada ALLOH (LILLAH) dan man-tauhid-kan BILLAH sesuai dengan ridlo-NYA tanpa adanya pembimbing. Maka untuk membimbingnya ALLOH Subhanahu Wata’ala memilih di antara hamba-hamba-NYA dijadikan Nabi Pemimpin ummat, dan diantara Nabi-Nabi ada yang ditetapkan sebagai Rosul Utusan-NYA dengan dibekali Kitab Suci sebagai tuntunan hidup bagi ummat manusia. Nabi dan Utusan ALLOH Subhanahu Wata’ala yang terakhir adalah Junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam dengan Kitab Suci Al-Qur’an sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia sampai akhir zaman / Yaumil qiyaamah.
    Dengan diutusnya Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam ummat manusia diwajibkan menyaksikan bahwa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam sebagai Utusan Alloh dan mentaati atas perintah-perintahnya. Dalam pelaksanaan taat kepada Beliau disamping pelaksanaan amaliah lahiriyah tidak kalah pentingnya penataan niat / tujuan dalam batin / hati. Yakni dalam pelaksanaan taat secara lahiriyah disamping didasari ibadah semata-mata karena ALLOH (LILLAH) juga harus disertai tujuan mengikuti / mentaati Rosululloh (LIRROSUL). Penerapan seperti inilah yang dibimbingkan pula dalam Ajaran Wahidiyah.

Jasa seseorang tidak boleh diabaikan / dilupakan, melainkan harus diakuinya dan disyukuri, baik dengan ucapan dan perbuatan maupun dengan pengakuan / perasaan batin. Lebih-lebih jasa atas diperolehnya suatu ni’mat dan anugerah yang amat besar nilainya. Yakni karunia iman dan islam. Padahal dari sekian makhluq yang ada di alam ini tiada satupun yang berjasa kepada kita manusia melebihi jasa Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam yang “rahmatan lil’alamiin”. Tiada satupun amal kebaikan yang terlepas dari jasa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam. Untuk itu setiap kita melakukan amal kebaikan seharusnya tidak melupakan jasa Beliau , bahkan harus selalu merasa bahwa segala kebaikan yang kita lakukan dan kita terima atas jasa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam. Istilah Wahidiyah selalu menerapkan BIRROSUL.

Tiada seorang pun yang hidup di alam ini yang tidak memerlukan atau tidak berhubungan pihak lain. Kelahirannya saja di alam fana ini sudah memerlukan banyak pihak. Setiap ada hubungan dengan pihak lain di situ pasti timbul dengan sendirinya suatu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Penyimpangan dan penyalahgunaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban adalah suatu kezhaliman. Kezhaliman yang dilakukan oleh seseorang akan mengakibatkan gelapnya hati dan penghalangnya pintu kesadaran, keimanan, ketaqwaan kepada Dzat Maha Suci serta akan memperberat tuntutan di alam baqa’ nanti. Dalam Wahidiyah diberi bimbingan secara garis besar tentang kewajiban pemenuhan hak terhadap pihak lain yang diistilahkan dengan YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH (memberikan suatu hak kepada yang berhak menerimanya) dengan prinsip TAQDIIMUL AHAM FAL-AHAM TSUMMAL-ANFA’FAL-ANFA’ (mendahulukan sesuatu yang lebih penting (aham) dan yang lebih besar manfa’atnya (anfa’)).

Penjelasan tentang apa yang diuraikan dalam muqaddimah ini Insya Alloh akan dibahas lebih luas di bawan ini. Mudah-mudahan bermanfa’at dan diriloinya fid-diini wad-dun-ya wal-akhirah. Amiin. 

DEFINISI (TA’RIF) AJARAN WAHIDIYAH;

    Yang dimaksud dengan AJARAN WAHIDIYAH adalah : BIMBINGAN PRAKTIS LAHIRIYAH DAN BATINIYAH DI DALAM MENGAMALKAN DAN MENERAPKAN TUNTUNAN ROSULULLOH, Shollalloohu 'alaihi wasallam MENCAKUP BIDANG SYARI’AT, BIDANG HAQIQAT, MELIPUTI PENERAPAN IMAN, PELAKSANAAN ISLAM, PERWUJUDAN IHSAN DAN PEMBENTUKAN AKHLAQUL KARIMAH.
Peningkatan iman menuju kesadaran atau ma’rifat kepada ALLOH Subhanahu Wata’ala
Pelaksanaan Islam sebagai realisasi dari ketaqwaan terhadap ALLOH Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa.
Perwujudan Ihsan sebagai manifestasi dari iman, Islam yang kamil (sempurna). Pembentukan moral / akhlaq untuk mewujudkan akhlaqul karimah.
Bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah di dalam memanfa’atkan potensi lahiriyah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniyah/spiritual yang seimbang dan serasi.
    Jadi bimbingan praktis tersebut meliputi segala bentuk kegiatan hidup dalam hubungan manusia dengan ALLOH Subhanahu Wata’ala (HABLUM MINALLOH), hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai insan sosial (HABLUN MINAN-NAAS), hubungan insan dengan keluarga, rumah tangga, dengan bangsa, negara dan agama, dengan sesama ummat manusia segala bangsa serta hubungan manusia dengan segala makhluq di lingkungan hidup pada umumnya.
Sumber dasar hukum Ajaran Wahidiyah adalah : AL-QUR’AN DAN SUNNAH ROSULULLOH Shollalloohu 'alaihi wasallam
Pokok - pokok atau rumusan Ajaran Wahidiyah sebagaimana termaktub dalam Lembaran Sholawat Waghidiyah adalah :
“LILLAH - BILLAH, LIRROSUL- BIRROSUL, YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH, dengan prinsip TAQDIIMUL AHAM FAL-AHAM TSUMMAL-ANFA’ FAL-ANFA’.
LILLAH
PENGERTIAN DAN PENERAPAN LILLAH
    Segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan langsung kepada Alloh dan Rosul-NYA, Shollalloohu 'alaihi wasallam maupun yang berhubungan dengan masyarakat, dengan sesama makhluq pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah maupun yang wenang, asal bukan perbuatan yang merugikan / bukan perbuatan yang tidak diridloi Alloh, melaksanakannya supaya didasari niat dan tujuan hanya mengabdikan diri kepada Alloh Tuhan Yang Maha Esa dengan IKHLAS tanpa pamrih ! (LILLAHI TA’ALA).
    Penerapan “LILLAH” umumnya ulama’ menyebutnya “IKHLASH”. Jika disatukan menjadi “Ikhlas Lillah”. Umumnya Ulama mengambil kalimat yang depan yakni IKHLAS dan istilah Wahidiyah mengambil yang belakang, yakni “LILLAH” dengan maksud agar lebih mengarah kepada tujuan yang pokok. Karena kalimat ikhlas sudah tercampur dengan pengertian “rela” atau “senang”. Seperti ucapan “saya ikhlas memberikan sesuatu kepada kekasihku”. Ucapan ini belum pasti didasari tujuan semata-mata karena Alloh (Lillah). Kemungkinan besar karena kekasihnya dia rela memberikan sesuatu. Berarti pemberiannya itu karena kekasih (Lil-kekasih) belum karena Alloh (Lillah). Akan tetapi jika ucapannya “saya memberi seseuatu kepada kekasihku dengan LILLAH, berarti pemberiannya itu didasari ikhlas karena Alloh (LILLAH). Selain itu dengan ucapan LILLAH sekaligus berdzikir kepada ALLOH.
PENGERTIAN DAN PENERAPAN BILLAH
Penerapan BILLAH artinya, di dalam segala perbuatan dan gerak gerik lahir maupun batin, di manapun dan kapan saja, supaya hati kita senantiasa merasa dan beri’tikad bahwa yang menciptakan dan menitahkan itu semua adalah ALLAH (Subhanahu wata’ala) Tuhan Maha Pencipta. Jangan sekali-kali mengaku atau merasa mempunyai kekuatan dan kemampuan sendiri tanpa dititahkan oleh Allah (Subhanahu wata’ala)! Jadi mudahnya hati selalu menerapkan kandungan ma’na dari : “LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAH”. “Tiada daya dan kekuatan melainkan atas titah Allah ; Billah”. Dan menerapkan firman Allah yang artinya : “Dan ALLOH-lah yang menciptakan kamu sekalian dan apa saja yang kamu sekalian perbuat”. (Q.S. 37- As- Shoffat : 96). “Dan kamu sekalian tidak dapat menghendaki (tidak dapat berkehendak) melainkan apabila dikehendaki Allah Tuhan semesta alam (Q.S. 81 - At-Takwir : 29)
Jelasnya, di dalam kita melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir dan sebagainya, supaya hati selalu sadar dan merasa bahwa pada hakikatnya yang menggerakkan /yang menitahkan itu semua adalah Allah (Subhanahu wata’ala). Merasa BILLAH. Semuanya BILLAH. Tidak ada sesuatu yang tidak BILLAH. Ini harus kita rasa di dalam hati. Tidak cukup hanya pengertian dalam otak. Bukan sekedar pengertian ilmiah saja. Kita membaca ini, kita memahami ini - BILLAH. Tulisan yang anda baca inipun BILLAH. Diri kitapun BILLAH. Mari terus merasa begitu. Merasa bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah tidak lepas dari ciptaan, kehendak dan kekuasaan Alloh (BILLAH).
PENGERTIAN DAN PENERAPAN LIRROSUL
      Segala amal ibadah atau perbuatan apa saja, asal tidak melanggar syariat Rosul, disamping disertai niat LILLAH seperti di atas, supaya juga disertai dengan niat “mengikuti tuntunan Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam)!” Jadi dalam segala hal perbuatan apa saja asal tidak melanggar Syariat Islam, niatnya harus dobel. Ya’ni niat LILLAH dan niat LIRROSUL.
Dengan tambahan niat LIRROSUL disamping niat LILLAH seperti itu, nilai kemurnian ikhlas semakin bertambah bersih. Tidak mudah diridu / digoda oleh iblis, tidak gampang disalahgunakan oleh kepentingan nafsu. Disamping itu penerapan LIRROSUL juga merupakan di antara cara Ta’aluq Bijanaabihi (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) - berhubungan atau berkonsultasi batin dengan Baginda Nabi (Shollalloohu ‘alaihi wasallam). Dengan menerapkan LIRROSUL disamping LILLAH secara terus-menerus Insya ALLOH lama-kelamaan hati dikaruniai suasana seperti mengikuti Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) atau seperti ber-sama-sama dengan Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) di mana saja kita berada terutama ketika menjalankan amal-amal ibadah apa saja. Dengan demikian situasi batin kita benar-benar dapat menduduki hakikatnya mengikuti atau mangikuti secara hakiki seperti sudah kita bahas di muka : HAQIIQOTUL MUTAABA’ATI RUKYA-TUL MATBUU’I‘INDA KULLI SYAI-IN = mengikuti yang haqiqi harus melihat kepada yang diikuti pada segala keadaan, segala situasi dan kondisi.
PENGERTIAN DAN PENERAPAN LIRROSUL
Penerapan BIRROSUL adalah : disamping sadar BILLAH seperti di atas, supaya juga sadar dan merasa (rumongso lan kroso - bahasa Jawa) bahwa segala sesuatu termasuk diri kita dan gerak gerik diri kita lahir maupun batin yang diridloi ALLOH, adalah sebab jasa Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam).
Jadi, dalam segala langkah dan gerak-gerik kita lahir maupun batin yang bagaimanapun saja asal tidak melang-gar syari’at Rosul (Shollalloohu ‘alaihi wasallam), hati kita harus merasa menerima jasa dari Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam). Jasa tersebut terus mengalir berkesinambungan tiada putus-putusnya. Jika dihindari sekejap saja oleh jasa Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) kita tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan wujud kitapun jika dihindari oleh jasa Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) menjadi ‘adam seketika.
Jadi penerapan BIRROSUL itu seperti BILLAH akan tetapi terbatas, tidak mutlak seperti BILLAH. Terbatas hanya dalam hal-hal yang diridloi ALLOH WA ROSUULIHI (Shollalloohu ‘alaihi wasallam). Maka ketika melakukan ma’siat misalnya, tidak boleh merasa BIR-ROSUL. Akan tetapi merasa harus tetap BILLAH. Pembatasan tersebut adalah mengisi bidang adab. Dan kita harus menempatkan segala sesuatu pada kedudukan atau proporsi yang sebenarnya. Bidang syari’at harus kita isi sepenuh-penuhnya dan setepat mungkin, dan bidang haqiqot juga harus kita terapkan setepat mungkin. Begitu juga bidang adab harus kita isi setepat-tepatnya, tidak boleh kita abaikan ! Langit bumi seisinya ini, termasuk manusia, adalah rahmat kasih dari ALLOH. Dan rahmat kasih tersebut disalurkan melalui Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam) sebagaimana firman-NYA :
YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH
Pengertiannya : Mengisi dan memenuhi segala bidang kewajiban. Melak-sanakan kewajiban di segala bidang tanpa menuntut hak. Baik kewajiban-kewajiban terhadap Alloh Ta'ala dan Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam), maupun kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan masyarakat di segala bidang dan terhadap makhluk pada umumnya.
Rosululloh (Shollalloohu ‘alaihi wasallam), bersabda :
“Sesungguhnya Alloh itu selalu memberikan hak kepada yang yang punya hak”. (HR. Ibnu majah dari Anas, dengan sanad shoheh).
Di dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dalam penerapan Yuktii di atas supaya mendahulukan yang lebih penting (AHAMMU). Jika sama-sama pentingnya supaya dipilih yang lebih besar manfa’atnya (ANFA’U). Hal-hal yang yang berhubungan kepada Alloh, Subhanahu Wata'ala, Wa Rosululloh, (Shollalloohu ‘alaihi wasallam), terutama yang wajib, pada umumnya harus dipandang “AHAMMU” (lebih penting). Dan hal-hal yang manfaatnya dirasakan juga oleh orang lain atau ummat dan masyarakat pada umumnya harus dipandang “ANFA’U” (lebih bermanfaat).
1 Response
  1. Anonim Says:

    wahidiyah itu sesat dan menyesatkan.lawong syariat yang dilarang nabi dan para sahabat malah diamalkan.katanya LIRROSUL.walah itu bisikan gaib dari IBLIS bukan ALLAH


Posting Komentar