sarkub
Ponpes Kedunglo Kediri, Memelihara Budaya Islam
By Republika Newsroom
Senin, 22 Desember 2008 pukul 13:48:00

Sejak berabad-abad lalu, pondok pesantren telah mewarnai perjalanan sejarah nusantara, khususnya di bidang kependidikan. Pada masa awal perkembangan Islam di tanah Jawa, para ustadz dan mubaligh mendidik kader-kader pejuang Islam di pesantren. Fungsi ini bertambah luas ketika Sunan Ampel yang membuka pondok pesantren di Surabaya mengajarkan pula berbagai disiplin ilmu dan tidak terbatas pada ilmu agama. Mulanya pesantren memang terkesan sangat mengisolasi diri terhadap ilmu pengetahuan modern, utamanya yang berasal dari barat. Akan tetapi, memasuki pertengahan tahun 1900-an, beberapa pondok pesantren mulai mau menerapkan ilmu modern.
Tidak hanya itu, sistem pendidikannya pun ikut juga mengadopsi sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah yang dilaksanakan oleh Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri, Jawa Timur. Pondok pesantren yang kuat aroma tasawuf-nya ini didirikan tahun 1901 oleh KH Muhammad Ma'roef. Kyai ini berlatar pendidikan di Ponpes Bangkalan Madura pimpinan KH M Cholil.
Seperti ponpes yang lain, Kedunglo membawa misi untuk mengajak masyarakat mengamalkan ajaran agama Islam. KH Ma'roef wafat tahun 1955 dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan salah satu anaknya, KH Abdul Madjid. Beliau lantas mendalami tasawuf dengan mempelajari lebih dalam kitab al-Hikam. Akan tetapi, oleh KH Abdul Madjid, tasawuf tidak hanya merupakan bahasa ilmiah, melainkan terapan kehidupan untuk menggapai ma'riffat Allah. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, yakni KH Abdul Latif Madjid.
Di masa kepemimpinan KH Abdul Latif Madjid inilah, Ponpes Kedunglo menjelma menjadi salah satu pesantren yang cukup berpengaruh di Kediri bahkan Jawa Timur. Pesantren ini sekarang lebih menekankan program pendidikannya secara komprehensif pada bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Namun, hal ini dilakukan dengan tidak menghilangkan misi dan visi agamanya yakni mencetak wali yang intelek atau ulama yang wali. "Untuk itulah, dalam upaya perbaikan keimanan umat, bila para ulama lain menerapkan metode dakwah ilmiah, namun Ponpes Kedunglo melakukannya melalui doa," papar KH Abdul Latif Madjid yang akrab disapa Romo Yahi oleh santrinya.
Kedunglo yang terletak di desa Bandarlor, Kediri, mempunyai luas sekitar 2 hektar. Lokasinya tampak berbaur dengan pemukiman penduduk, dalam artian ponpes ini tidak 'memagari' diri pada satu komplek. Kegiatan belajar mengajar dilangsungkan di satu gedung bertingkat dua dan terdiri atas sekitar 15 ruangan. Untuk menampung para santri, tengah dibangun satu gedung baru berlantai empat dan diharapkan selesai tahun depan. Jumlah santrinya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan kini tercatat 1.000 santri (60 persen santri putri dan 40 persen putra) menimba ilmu dan mondok di Ponpes Kedunglo.
Mereka bukan hanya berasal dari Kediri dan sekitarnya, melainkan juga dari seluruh Indonesia. Jenjang pendidikan dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Para santri TK sampai SMA menuntut ilmu seperti halnya para siswa di sekolah negeri dengan mata pelajaran sama. Karena masih terbatasnya ruangan kelas, mereka kemudian dibagi menjadi kelas pagi dan siang. Umumnya, santri yang masih TK dan SD, masuk pagi. Sedangkan santri SMP dan SMA masuk siang dari pukul 13.00 WIB. Mereka nantinya juga ikut dalam ujian akhir tingkat nasional. Pendidikan ilmu agama diberikan malam hari, biasanya usai shalat maghrib hingga pukul 22.00 WIB.
Berbagai disiplin ilmu agama, yakni fiqh, hadis, tajwid Alquran, dll menjadi mata pelajaran sehari-hari. Dan salah satu ciri khas pendidikan agama di Ponpes Kedunglo adalah pengamalan shalawat Wahidiyah yang digagas KH Abdul Madjid Ma'roef. "Dengan bershalawat Wahidiyah, kita memohon syafa'at kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk menjernihkan hati," tutur KH Abdul Latif Madjid menambahkan. Dengan mengamalkan Wahidiyah ini, kata KH Abdul Latif, maka akan selalu ingat kepada Allah ketika hendak melaksanakan segala aktivitas. Di samping itu dapat menghindarkan diri dari nafsu dan sifat yang bertentangan dengan ajaran agama. Termasuk juga mensyukuri jasa Rasulullah SAW bagi kemaslahatan umat Islam seluruhnya.
Tercatat, pengamal shalawat tersebut saat ini tidak terbatas di kalangan santri pesantren, tapi masyarakat luas dan jumlahnya telah mencapai puluhan ribu orang. Para pengamal ini tiap tahun berkumpul di Kedunglo untuk memperingati 1 Muharram dan Maulid Nabi serta mengadakan Mujahaddah Qubro. Pada perkembangan selanjutnya, Ponpes Kedunglo menjadi sangat memperhatikan kemajuan dan pelestarian budaya Islam. Sehingga demi mendukung tekad itu, setiap santri diwajibkan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari.
Lebih jauh, Kedunglo sejak beberapa tahun belakangan, kembali menghidupkan pemakaian penanggalan tarikh hijriyah. "Sangat memprihatinkan, di kalangan umat Islam masih banyak yang tidak peduli dan menganggap biasa masalah ini.
Kita cenderung menggunakan kalender masehi daripada tarikh hijriyah,'' jelas  Romo Yahi. Usaha untuk menghidupkan budaya tarikh hijriyah pun langsung dilaksanakan, antara lain dengan menerbitkan kalender hijriyah. Pada kalender tersebut akan memudahkan mencari hari-hari penting agama Islam, termasuk juga jadwal waktu shalat dll yang bercirikan Islam. Jika menggunakan tarikh hijriyah, imbuh  Romo Yahi, banyak sekali pesan yang tersimpan di dalamnya, mulai dari Muharram sampai Dzulhijjah. "Hal itu akan memudahkan kita selalu mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejaran Islam." Dan yang lebih penting lagi agar umat Islam bisa memetik hikmah dari peristiwa tersebut.
Harapkan Ponpes Modern
Tahun 2003 sudah dicanangkan untuk menjadikan pesantren Kedunglo sebagai pesantren modern. Ini akan mencakup pembenahan metode pengajaran, penambahan fasilitas pendidikan maupun keragaman aktivitas santri. Untuk kepentingan peningkatan kualitas pendidikan, Kedunglo akan lebih menggencarkan pengajaran bahasa Inggris dan Mandarin. Metode berkelanjutan ditekankan. Sebab ada kekhawatiran bila santri sudah selesai menimba ilmu di ponpes, ilmu yang sudah didapat cenderung tidak digunakan.
Oleh pembina Kedunglo, masalah ini coba diantisipasi. "Para santri kita wajibkan mengamalkan ilmu mereka, termasuk bahasa Arab, Inggris, dan Mandarin, di keluarga dan lingkungan mereka nantinya," tukas KH Abdul Latif Madjid. Pada usaha meningkatkan fasilitas pendidikan, Kedunglo agaknya masih dalam tahap berbenah. Terutama yang perlu ditambah adalah gedung sekolah mengingat jumlah santrinya terus meningkat. Karena keterbatasan ruangan, harapan untuk membuat laboratorium kimia dan bahasa misalnya, jadi terhambat.
Saat ini, ponpes Kedunglo baru memiliki fasilitas perpustakaan dan ruang praktek komputer. Terlebih lagi lantaran Kedunglo juga membina pendidikan tingkat perguruan tinggi, yakni Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIS) dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Wahidiyah. Sedangkan di bidang kegiatan agama, yang telah dijalankan Kedunglo cukup menggembirakan. Pengelolaannya dibawahi sejumlah departemen.
Ada departemen pendidikan, pembinaan remaja, departemen kanak-kanak, departemen wanita, departemen keuangan, dan departemen koperasi. Kegiatan konkretnya antara lain menerbitkan majalah dwimingguan Aham, penerbitan buku, pengelolaan toko serba ada dan koperasi.
Dari semua kegiatan ini, tampaknya yang paling menonjol adalah bidang koperasi. "Kami juga memperhatikan bagaimana memberdayakan ekonomi umat, khususnya lagi para pengamal Wahidiyah," tegas Romo Yahi. Saat ini terdapat sekitar 148 koperasi di seluruh Indonesia.
Koperasi tersebut, kata Romo Yahi, bukan simpan pinjam, tetapi hanya memberi fasilitas pinjaman lunak kepada anggota. Pengembangan koperasi ini mulai dilakukan sejak 5 tahun lalu. Dengan hasil yang diperoleh dari berbagai kegiatan tadi, Ponpes Kedunglo dapat mandiri membiayai semua kebutuhan sehari-hari termasuk pembangunan sarana pendidikan. yu/dokrep/April 2003
Label: |
0 Responses

Posting Komentar