sarkub
ROBERT MOREY DAN ORIENTALISME

 Meskipun kajian tentang Islam telah dilaksanakan di dunia Barat selama seribu tahun lebih, pada setiap periode kajian itu selalu didistorsi dan dinodai oleh kesalahan dan penyimpangan.

Kajian Islam di barat dimulai dari abad kesepuluh dan kesebelas. Karena pada saat itu, saat Eropa secara keseluruhan menganut Kristiani, Islam dipandang sebatas sebagai sekte dari agama Kristen yang menyimpang, dan pendirinya adalah seorang murtad. Segera saja, bahaya langsung dari Islam bagi wilayah Kristen Barat mendorong banyak orang untuk menyebut Nabi pembawa ajaran Islam sebagai anti-Kristus. Abad pertengahan telah ditandai dengan penolakan religius yang kuat terhadap Islam. Bagaimanapun pada saat inilah Barat menunj ukkan gairah keingintahuan pada pemikiran Islam, termasuk di bidang filsafat dan sains, juga pendidikan Islam, seni dan teknologi mendapat penghargaan yang tinggi. Terjemahan pertama berbahasa Latin dari karya-karya pemikiran Islam, dari bidang filsafat dan bahkan teologi sampai astronomi, matematika, dan kedokteran, berlangsung selama periode ini. Kajian tentang Islam secara formal di Barat dapat dikatakan pada dasarnya dimulai pada Abad Pertengahan.
 
Meskipun beberapa terjemahan baru literatur yang menjadi sumber informasi tentang Islam telah diketjakan dalam berbagai bahasa Eropa pada saat itu dan tetap menjadi disiplin intelektual dan akademik, walaupun ada sedikit kajian tentang Islam yang telah dilakukan untuk benar-benar memahami ajaran-ajaran Islam dari sudut pandang Islam sendiri. Beberapa tokoh pemikir terkemuka pada periode ini, sebenarnya, masih membawa-bawa kebencian Eropa lama terhadap Islam. Kajian tentang Islam masih didistorsi oleh kebanggaan akan superioritas Barat dan bahkan kepongahan yang kasar, bentuk­bentuk karakter yang masih berlangsung sampai pada masa modern.
 
Setelah abad ke enambelas, semakin nampak jelas tujuan­tujuan kaum orientalis. Tujuan tersebut dapat kita lihat dalam sikapnya.
 
Pertama, yang bertendensi keagamaan, Islam mereka lulciskan tidak bisa lebih utama daripada agama Kristen yang selalu unggul segala-galanya. Dan kaum terpelajar pun mereka bangkitkan agar menghargai agama Kristen. Maka kaum orientalis yang bertendend keagamaan ini biasanya terdiri dari para pendeta, pastur dan paus, atau mereka bergandengan tangan dengan kaum missionaries dan zending.
 
Kaum orientalis yang memalsukan kebenaran Islam ada yang dengan terang-terangan tampak, mereka menyatakan permusuhannya terhadap Islam. Tetapi ada juga yang di dalam memasukkan racun kebencian dan permusuhannya itu amat hati-hati dan halus sehingga tampaknya tidak kentara, namun kadar racun yang mereka bubuhkan itu telah mereka perhitungkan, agar para pembaca tidak merasa kaget sehingga pembaca akan merasa curiga terhadap orientalis tersebut.
 
Golongan kedua inilah yang lebih berbahaya daripada golongan yang pertama. Orang yang pertama, mereka menyatakan terus terang rasa permusuhannya terhadap Islam, mereka menulis dengan alasan dan analogi yang salah, tampak jelas kelemahannya, isi tulisannya penuh kebodohan dan kepalsuan. Orang yang tidak terlalu dungu bila membaca tulisan ini tidaklah terus saja percaya dan melahap mentah-mentah isi buku tersebut. Dan orang yang sedikit mengerti tentulah enggan meneruskan membaca buku tersebut sampai selesai.
 
Bagaimana hasil analisa kaum orientalis tidak akan menyesatkan ummat di segala bidang, padahal mereka menyelidiki dan menulis apa saja tentang Islam? Tentang Kitab dan Sunnah, tentang fikih dan tauhid, tasauf dan para syekhnya, para sahabat, tabi'in, mujtahidin, ahli hadist, ahli hukum, tentang setiap jenis hukum, dan banyak lagi yang meliputi segala aspek dan segala sudut Islam. Semuanya itu mereka tulis sesuai dengan jalan dan kehendak mereka, menurut tendensi mereka masing­masing.
 
Tentu saja akibatnya ialah banyak timbul kesalah-fahaman dan salah terka atau kesalah-mengertian terhadap Islam, baik yang mereka sengaja ataupun tidak, baik karena sadar atau karena kebodohan mereka terhadap ruh Islam.
 
Pada abad kesembilan belas studi-studi orientalisme diakui secara resmi, termasuk kajian-kajian keislaman di berbagai universitas-universitas Barat, acapkali mendapat dukungan dari pemerintah-pemerintah kolonial, seperti: Inggris Raya, Prancis, Belanda, dan Rusia. Orientalisme, pada hakikatnya, berkembang sebagai alat untuk melanggengkan cengkeraman kolonial, baik kebijakan ini diterapkan di kawasan Asia Tengah oleh kantor kolonial Rusia atau di sub-benua India bagi kepentingan pemerintah kolonial Inggris Raya. Akan tetapi, ada juga di antara para orientalis pada abad kesembilan belas belakangan dan paruh awal abad kedua puluh sejumlah sarjana-sarjana yang tulus mengkaji Islam, baik secara objektif maupun secara simpatik, seperti: Thomas Arnold, Sir Hamilton Gibb, Louis Corbin, dan Henry Corbin. Orientalis Barat belakangan yang termasuk dalam lingkaran tradisi ini adalah: Marshall Hodgson, Annemarie Schimmel, dan beberapa sarjana terkemuka lainnya. Namun kebanyakan produk dari perilaku orientalis di bidang kajian Islam tetap menyisakan bias yang serius tidak hanya sebagai suatu hasil karya pesanan dari kekuasaan tempat mereka mengabdi, tetapi lebih disebabkan oleh absolutisasi konsep-konsep Barat dan metodologi yang lebih maju yang mereka terapkan bagi Islam dilatarbelakangi kebanggaan terhadap superioritas dan kecongkakan yang kembali pada definisi Renaisans tentang "manusia Eropa".
 
Demikianlah yang telah terjadi, semangat Perang Salib telah menimbulkan banyaic tindak lanjut dari mereka dengan tujuan yang sama dengan Perang Salib itu sendiri, yaitu akan menghancurkan ummat Islam.
 
Maka jelaslah bahwa usaha Barat untuk menghancurkan Islam belum pernah padam, dan penjajahan Barat atas dunia Islam yang bahu-membahu dengan kaum missi dan zending tidak dapatdiingkari lagi, sebagai kelanjutan dari Perang Salib yang semula didengungkan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 dahulu.
 
Salah satu usaha mereka adalah terbitnya Buku yang kami bahas disini dengan judul "The Islamic Invasion - Confronting the World's Fastest Growing Religion" yang ditulis oleh Robert A. Morey. Buku ini edisi baru dari buku yang berjudul Islam Unveiled. Diterbitkan oleh Christian Scholars Press, Las Vegas, NV 88119. Dr. Morey adalah Direlctur Eksekutif dari yayasan penelitian dan pendidikan, yang mengkaji topik tentang pengaruh Budaya dan Nilai Barat dan mengarang beberapa buku yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa; Prancis, Jerman, Italia, Belanda dll. Buku ini secara garis besar menyoroti berbagai hal penting mengenai hubungan antara dua peradaban yang berlawanan semenjak abad-abad pertengahan hingga sekarang.
tuk menjawab itu semua Hj. Irena Handoyo  membuat buku tandingan " Islam Dihujat " mau buku di gitalnya silakan klik disini

sarkub
Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.“Co, endang ning pondok!”“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). “Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Label: 0 komentar | |